5 Juni 2010

Berlatih Menulis bagi Calon Peserta "Tugas Akhir"

Dalam banyak kesempatan, keluhan awal untuk belajar menulis yang sering saya dengar adalah "Saya harus menulis apa ?" Jawaban sayapun selalu sederhana, "Menulislah apa yang ingin Anda tulis/ingin sampaikan. Jangan menulis hal-hal yang tidak Anda kuasai".

Di lain kesempatan, keluhan dapat berbeda wujud, meski pada hakikatnya ada banyak kemiripan yakni bermuara pada masalah "betapa sulitnya memulai menulis". Misalnya terlontar pernyataan, "Sebetulnya saya mengerti, tetapi sulit mengungkapkannya dalam tulisan", atau pernyataan-pernyataan lain yang intinya bahwa bertutur menyampaikan pikiran dalam bahasa tulis tidak semudah menyampaikannya dalam bahasa lisan (bagi sebagian orang, hal ini malah sebaliknya).

Bagi peserta tugas akhir (TA) keluhan dan problematika menulis sering terlihat bahkan sejak proses pengajuan proposal. Karena proposal -- dan umumnya tulisan formal -- mensyaratkan banyak hal, kesulitan pun tampak seolah berlipat-lipat. Misalnya pada tulisan ilmiah, penggunaan ejaan yang disempuranakan (EYD) dituntut sangat tertib, kalimat-kalimat pun sangat dituntut efektif. Padahal kedua hal tersebut meski sejak sekolah dasar (SD) dipelajari, tetap saja jadi barang asing yang sulit ditaklukkan (konon mata pelajaran Bahasa Indonesia bahkan jadi "pembunuh" yang menyebabkan siswa SMA gagal saat UN, Sidik Nugroho Wrekso Wikromo, "Beberapa Persoalan dalam Pembelajaran Sastra Kita").

Akhirnya, menulis bagi sebagian peserta TA seperti hantu menakutkan. Di samping materi TA yang juga memerlukan eksplorasi cukup tinggi, tata tulis laporan (TTL)-pun ikut membebani aktivitas TA. Tak heran, jika pada proses bimbingan ataupun seminar-seminar, bahkan menjelang sidang, ketidakjelasan maksud akibat ketidaktepatan kalimat, serta pemilihan kata yang salah, logika yang tidak "kena", atau masalah lainnya, mengakibatkan alur dan kesatuan dokumen menjadi tak tampak. Dalam kondisi memprihatinkan bahkan sampai pada tahap "tak menyuarakan apa-apa", atau (lagi) istilah umum dosen pembimbing, dikatakan laporan tersebut "tak bunyi".

Adakah cara untuk mempermudah menulis saat TA, atau untuk kebutuhan formal lainnya ? Tak ada cara yang tokcer, yang ada adalah proses yang perlu dirintis jauh-jauh hari sebelum TA dimulai, sehingga pada saatnya dibutuhkan, skill writing sudah siap digunakan. Apa saja proses tersebut ?  Berlatih ...!

Ya, menulis bukanlah skill instant yang akan datang tepat kapan dibutuhkan. Menulis adalah keterampilan yang menuntut sikap istiqamah untuk melatihnya. Apa yang harus ditulis selama latihan? Bagaimana gaya menulis yang diperlukan ? Apakah tulisan yang dibuat selama berlatih harus menerapkan EYD? dan lain-lain pertanyaan diajukan.

Tak apa, setidaknya pertanyaan itu muncul sebagai ekspresi kesadaran bahwa menulis bagi mahasiswa adalah keharusan, suka ataupun tidak. Bagi mahasiswa IT, bukan saja keharusan melainkan kelak akan menjadi "tuntutan profesi".


Berlatih Menulis

Di Mana Tulisan Dituangkan

Media untuk berlatih menulis dapat digunakan (bahkan) kertas bekas. Atau jika memiliki komputer, proses latihan dapat lebih terbantu dengan memanfaatkan software-software word processor; dan "hari gini" ... yang tentu cukup akrab dengan media internet, blog dapat digunakan untuk membantu meningkatkan percaya diri (PeDe) saat berlatih menulis, sehingga ada dorongan untuk terus dan terus berlatih.

Menulis di blog, akan memotivasi seseorang untuk "PeDe" menulis. Setidaknya, diri sendiri akan menjadi pihak yang pertama mengapresiasi tulisan tersebut -- sebelum memiliki follower, ataupun reviewer. Jika menulis untuk media masa, tulisan kita akan diseleksi oleh tim redaksi, plus waktu tunggu yang kadang tak jelas berapa lama,  menulis di blog tak ada tim redaksi, dan tak perlu antri. Bukankah itu harapan setiap penulis ? Langsung di-publish dan dinikmati oleh pembaca -- meskipun kita sendiri pembacanya :)


Kapan Sebaiknya Berlatih 

Waktu yang tepat untuk berlatih menulis dapat berbeda setiap orang. Mungkin yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana kita dapat secara konsisten memelihara keinginan untuk terus berlatih. Misalnya, buatlah tulisan secara rutin dalam setengah halaman setiap hari (misal tepat ketika bangun pagi, atau sore hari menjelang senja, atau lagi .. mencoba konsisten pada jam-jam tertentu). Tak ada yang salah, kapanpun waktu akan digunakan untuk berlatih. Yang salah adalah ketika kita mengatakan "tak punya waktu untuk menulis","sibuk", "banyak tugas", dan lain-lain, yang sebetulnya hanya ekspresi dari sikap apologetik semata.

Jika berlatih setiap hari agak sulit, dapat dicoba setiap 2 atau 3 hari. Tak mengapa, yang penting ada niat untuk "memaksa diri" agar latihan tersebut dapat konsisten. Jika 2-3 hari sekalipun tak sanggup, dapat dicoba seminggu sekali.  Tapi kalau seminggu sekalipun terasa berat, entahlah ... ada yang salah dengan persoalan motivasi. Artinya, niatnya belum full, tidak prioritas, atau lebih memilih hal lain untuk dikerjakan.


Tuliskan tentang Apapun yang Ada dalam Pikiran Saat Itu

Meski tujuan akhir untuk membuat tulisan formal, untuk kebutuhan latihan, mulailah dengan topik-topik sederhana. Sementara, "lupakan" aturan-aturan formal yang kadang membelenggu. Menulislah dengan tujuan "mengeluarkan" isi hati dan pikiran. Tak sedikit orang yang idenya cemerlang dan dapat diungkapkan secara lisan dengan sangat lancar, tetapi ketika diminta dituliskan, satu paragraf pun tak pernah hadir.

Menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan adalah mengajak berbahasa dengan cermat pada setiap kata, serta menuntut logika yang runut agar pembaca dapat memahami gagasan yang ingin disampaikan. Jangan bicara dulu masalah grammer atau tata bahasa. Biarkan jemari dengan lincah mengikuti kata hati dan pikiran. Jadikan jemari  sebagai wakil diri saat mengekspresikan mau-nya hati.

Jika diperlukan, jangan dulu membaca setiap paragraf yang berhasil dituliskan. Biarkan semua ide mengalir, tertumpah melalui jemari-jemari dengan lancar. Biarkan pula, pikiran bertambah deras mengirimkan sinyal-sinyal kata dan logikanya hingga menjadi kumpulan kata, kalimat, paragraf, dan akhirnya sebuah tulisan utuh versi 0 (Nol). Jangan heran, jika satu saat sebuah klimaks berhasil diraih, pikiran "membadai", dan ide demikian menghebat memenuhi alam pikiran, saat itu jemari tak mampu lagi mewakili alam sadar. Jangan berhenti, dan jangan pula membaca. Teruskan, dan lanjutkan dengan sabar, jangan terburu-buru.


Perlukah Gaya Menulis ?

Menulis akan mengekspresikan siapa penulis. Pada tahap awal, tak perlu repot-repot memikirkan gaya menulis, lebih-lebih untuk tulisan formal. Menulislah dengan gaya sendiri, apa adanya, original, dan tak terpengaruh siapapun. Soal gaya, perlahan-lahan jika dilakukan secara konsisten, tulisan-tulisan yang dihasilkan akan memiliki gaya sendiri, apapun bentuknya.

Tulisan kita mewakili diri kita, saat itu. Jika belum PeDe, masih berpikir tak ingin diri kita diketahui siapapun melalui tulisan, ya tak perlu dipublikasi. Biarkan sementara tersimpan di arsip pribadi, agar kelak, saat PeDe sudah mulai tumbuh, keberanianpun timbul. Tak ada masalah lagi, jika orang lain akhirnya tahu "siapa diri kita" melalui tulisan. Maka, belajarlah untuk lebih membuka diri. Suatu saat nanti, perlahan namun pasti, akan dengan sendirinya dapat "menjaga" jarak dengan tulisan sendiri. Kita -- penulis -- berperan seperti halnya orang lain, pembaca lain.

Jika situasi ini sudah dapat diraih, mungkin satu level pembelajaran menulis sudah terlewati. Kita berada pada jarak tertentu dengan tulisan kita, sehingga substansi dapat lebih objektif, dan kita sendiri  akan dapat menjadi editor "yang baik" dan reviewer "yang cermat" dari tulisan tersebut, tulisan sendiri. Selamat ... !


Iterasi untuk Merevisi Hingga (merasa) Tulisan Kita Telah Maksimal

Merevisi dilakukan secara iterasi, entah berapa iterasi yang harus dilakukan. Di dunia kepenulisan, berkembang jargon  writing is revising -- menulis adalah merevisi.  Setiap membaca ulang tulisan yang telah dianggap selesai, dapat dipastikan akan ada niat untuk selalu ingin merevisi.  Merevisi tidak hanya tulisannya, ide pun akan berkembang dan terus berkembang dengan sendirinya. Hingga suatu waktu, hanya deadline-lah yang akhirnya mengharuskan kita menghentikan segala bentuk revisi.

Dalam pandangan yang lebih ekstrim, terdapat pula jargon bahwa 90% of  the first draft is rubbish :) Maka, tak perlu kaget, ketika "baru" menulis sekali, ternyata tulisan yang lahir "belum apa-apa". Lakukan iterasi lagi, hingga mungkin belasan atau puluhan kali. Semoga bisa tawaqal :)

Merevisi tulisan dapat  dilakukan sendiri. Misalnya, setelah tulisan versi 0 lahir, simpan dan biarkan beberapa hari. Setelah pikiran tenang, tulisan tersebut dapat dibuka dan dibaca kembali. Hampir dapat dipastikan beberapa bagian membuat penulis tercengang. Bisa karena kagum (bisa ya saya menulis seperti ini..?), atau sebaliknya, “kecewa” karena melihat tulisan yang tak berwujud.

Tak mengapa, perbaikilah sebisa mungkin, kemudian simpan lagi. Selang 2 hari, coba buka kembai  dan baca dengan lebih cermat. Niscaya, masih ditemukan kesalahan (ketidakpuasan) di mana-mana. Perbaiki kembali. Lalu, ulangi lagi proses membaca-memperbaiki sesanggup kita. Hasil akhir itulah tulisan "terbaik". Paling tidak itulah penilaian diri terhadap tulisan versi 0.

Benarkah pembaca memahami isi tulisan kita ? Setelah merasa maksimal, mintakan beberapa orang rekan untuk membacanya. Atau jika ingin lebih serius, mintalah pendapat beberapa orang yang dianggap layak mereviu tulisan kita.

Jika kebiasaan "menulis santai" sudah terpelihara (misal setiap 2 hari), cobalah berlatih untuk menulis lebih formal. Cari topik yang bukan dari pikiran saat itu, tapi didorong oleh "suatu topik" yang harus dituliskan. Untuk kebutuhan ini, diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang topik tersebut secara lengkap. Artinya, sebelum mulai menulis sebuah topik, perkayalah wawasan pengetahuan tentangnya, atau dalam istilah wikipedia inilah tahap collect information .***

1 komentar:

  1. hemm..q jg suka menulis.tapi kok ternyata sulit menulis apa yg kita angankan ya.
    ok infonya

    BalasHapus

Search